Minggu, 25 Januari 2015

Bedah Buku Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita

Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita
Buku ini merupakan ungkapan rasa kerinduan yang dirasakan oleh penulis dan para Gusdurian (sebutan pengagum Gus Dur) kepada sosok Presiden RI ke-4 Bapak KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur). Beliau wafat pada 29 Desember 2009 karena sakit yang sudah lama dideritanya. Kendati banyak orang sudah tahu mengenai kondisi kesehatan beliau, tetapi tetap saja kepergian Gus Dur terasa menyentak dan mengejutkan bagi para pengagumnya. Mereka berpikir bahwa Gus Dur masih sangat dibutuhkan, bukan saja oleh kaum nahdliyyin (kaum NU) dimana beliau berasal dan pernah menjadi pimpinannya, tetapi juga oleh bangsa ini. Mereka juga berpendapat bahwa bangsa ini masih memerlukan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang telah beliau lakukan pada saat menjabat sebagai presiden, walau saja tidak sampai 5 tahun. Itulah salah satu alasan mengapa Saya memilih untuk membaca buku ini. Saya ingin tahu dan mengenal lebih dekat sosok Gus Dur dengan membaca buku ini.
Pertama saya akan menjelaskan tentang riwayat hidup penulis buku ini. Beliau bernama Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam atau yang biasanya dikenal Kang Hikam. Beliau lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga pesantren Nahdliyyin didesa Plumpang, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur pada 26 April 1958. Putra ke-6 dari 7 bersaudara dari pasangan KH. Abd. Fatah Al-Manshur dan Ny. Da’iyyatul Khairat ini, selain mendapat pendidikan pesantren juga dilembaga pendidikan formal agama dan umum. Selepas SDN (1969), Kang Hikam melanjutkan ke SMP Mu’allimin di Tuban (1973), Sekolah Persiapan IAIN di Semarang (1975), dan S-1 di Falkultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1981). Meniti karir sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1982/1983. Pada 1985 ia mendapat beasiswa Overseas Fellowship Program (OFP) dari BPPT-World Bank untuk studi Ilmu Komunikasi pada Universitas od Hawai’i at Manoa, Honolulu, AS dan meraih gelar MA pada 1987. Selanjutnya mendapat beasiswa dari East-West Center, AS, dan meraih gelar MA keduanya serta PhD dalam Ilmu Politik pada 1994 dan 1995 dari universitas yang sama. Sepulang ke tanah air, karir penelitinya berlanjut hingga jabatan puncak funsional peneliti, yakni Ahli Peneliti Utama (APU) pada Pusat Penelitian Ekonomi dan Pembangunan (PEP), LIPI, pada 1999. Tahun yang sama, Kang Hikam diangkat oleh Presiden RI ke-IV, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi anggota Kabinet Persatuan Nasional sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menegristek) merangkap Kepala BPPT sampai 2001. Dunia politik praktis pun sempat dirambahnya pada 2001 sampai 2009 dan sempat menjadi salah satu Ketua DPP PKB 2002-2005, anggota Komisi-I DPR-RI dari PKB (2004-2007) serta bergabung ke Partai HANURA pada 2008-2009 dengan jabatan terakhir sebagai salah satu Ketua DPP. Sejak 2009, Kang Hikam kembali ke dunia akademis dan menjadi Lektor Kepala dalam bidang Ilmu Politik Universitas Presiden, Jababeka, Cikarang, Jawa Barat. Ia pernah menjabat Wakil Rektor IV Bidang Riset dan Kerjasama Kelembagaan (2009-2012) di universitas tersebut. Beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) sejak 2007 dan member kuliah-kuliah di Sesko-AL; Sesko-AU; dan Sesko-TNI; serta menjadi pemakalah seminar dilembaga-lembaga seperti Lemhannas, Kemenhan, Badan Intelijen Negara (BIN), dan berbagai lembaga non-pemerintah, baik didalam maupun diluar negeri. Tahun 2008 mendapat Pacific Leaders Fellowship dari Universitas of California, San Diego (UCSD) di La Jolla, California, AS dan pada tahun 2011 mengikuti Kursus Singkat Angkatan XVII, Lemhannas RI. Sebagai orang pesantren, Kang Hikam masih tetap menjadi anggota Pembina Yayasan dan pengasuh Ponpes Salafiyah Kholidiyah di Plumpang Tuban. Di Jakarta ia juga menjadi salah satu anggota Penasihat New Zealand International School (NZIS). Dalam dunia korporasi, Kang Hikam sejak 2007 dipercaya sebagai anggota Penasihat  Senior (Senior Advisor) pada Kiroyan Partners, sebuah konsultan komunikasi strategis dan bisnis di Jakarta. Sebagai penulis, Kang Hikam dikenal dikalangan pemerhati politik dengan bukunya yang momumental, Demokrasi dan Civil Society (1997,1999); serta Politik Kewarganegaraan (1999); Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society (2001). Kang Hikam menikah dengan Dr. Ir. Hj. Puji Winani, MA, dan dikaruniai seorang putri Halida Putri Widyastuti, BS (Chem-Eng).
Kedua saya akan menerangkan isi dari buku ini, yang didalamnya banyak pemikiran-pemikiran Gus Dur sebelum ia jadi presiden maupun beliau sesudah menjabat sebagai presiden. Serta kesederhanaan dan “guyonan” beliau lakukan dalam tindakan apapun, yang semua orang anggap sesuatu hal yang jarang dilakukan oleh seorang presiden. Bagi penulis Gus Dur adalah sosok yang tak pernah gagal melihat aspek humor dalam segala hal. Dalam situasi yang bagi orang lain sangat serius dan resmi pun, beliau bias menemukan dan mengemukakan hal-hal yang lucu, tapi sangat filosofis kalau mau memikirkannnya. Contohnya, sewaktu penulis memohon Gus Dur untuk memberikan pidato dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi (Harteknas) Tahun 2000 dilapangan Sabuga ITB pada saat beliau masih menjabat sebagai presiden, beliau bercerita didepan hadirin yang banyak sekali, diantaranya pasti orang-orang “serius” dan “pinter-pinter”, namanya juga para saintis, peneliti, professor, dll. Kata Gus Dur, “Syahdan ada seorang anak petani yang, ndilalah kersane Gusti Allah, kok bisa dapat beasiswa ke Jerman dan berhasil sampai meraih gelar Doktor dibidang Bioteknologi. Sewaktu pulang kampong, dia cerita kepada sang Ayah tani kluthuk  tentang betapa hebatnya kemampuan sains dan teknologi dinegara yang namanya Jerman itu.
Wah Pake, disana itu sudah bisa dibuat mesin yang ngedap-edapi. Seekor sapi masuk mesin itu dipintu depan, dibelakang sudah jadi corned beef, itu daging cincang yang dikalengan, siap masuk toko!” kata si anak dengan sumringah dan bangga.
Sang Ayah tenang-tenang saja sambil bilang, “Alah le, kalau Cuma begitu aja ngapain kamu sekolah sampai Jerman. Dirumahmu ini saja sudah jauh lebih canggih!”
Si anak yang Doktor Biotek tentu rada kesel sama si Bapak, katanya: “Ah, njenengan ini bisa aja Pak. Emang ada kemampuan apa disini yang bisa menyamai Jerman?”
Kata sang Ayah: “Lho Bapakmu dan Simbokmu ini, makan macem-macem, mulai dari kangkung, telo, nasi, ikan, tempe dan seterusnya. Lha setelah itu, keluar Kamu!  Apa gak lebih hebat dari mesin Jermanmu tadi?”
Wkwkwk (tertawa)... Tersipu-sipulah seluruh hadirin dilapangan Sabuga. Bahkan para professor, peneliti, saintis yang dikenal sangat serius dapat tertawa lebar mendengar cerita dari Gus Dur. Kata Gus Dur, itulah kalau para saintis kurang berkomunikasi dengan rakyat.
Dan ada salah satu cerita “guyonan” Gus Dur yang selalu diingat penulis dan masih berhubungan dengan cerita diatas. Ketika baru saja penulis diangkat sebagai Meneg Ristek, suatu hari penulis mengobrol di Istana sambil menunggu makan malam. Penulis bertanya kepada Gus Dur bagaimana mengelola kementrian yang penulis pimpim pada saat itu. Dan Gus Dur menjawab dengan santai dan, tentu saja, dibumbui humor.
 “Jadi begini, Kang. Jadi Menteri yang ngurusi iptek itu ya harus berusaha memahami dinamika masyarakat dimana pun dia berada. Jangan Cuma pengen maju cepat-cepat saja. Sampeyan jangan meniru pendahulu sampeyan yang pendekatannya elitis, tetapi tidak atau kurang memahami bagaimana sebetulnya rakyat banyak memandang teknologi. Termasuk disitu paham terhadap persepsi mereka tentang gunanya teknologi dan, yang lebih penting, bagaimana iptek bisa dipakai melayani keperluan dasar mereka. Kalau sampeyan meneruskan model pendekatan lama, ya iptek kita mungkin maju, tapi makin terasing dari rakyat dan malah membuat elite tidak paham. Sudah pernah dengar cerita Meneg Ristek dikalahin orang Madura?”
“Gimana Gus....” (penulis sudah senyum-senyum, karena pasti ada lelucon Madura yang menarik).
“Meneg Ristek sebelum sampeyan ada yang luar biasa hebatnya karena konon bisa buat pesawat. Pada suatu hari dia mau pamer dimuka rakyat Madura betapa hebatnya capaian dia dan bagaimana rakyat seharusnya bangga dan memujanya. Nah, tibalah dia disebuah pesantren di Bangkalan. Seperti lazimnya zaman itu, para santri dan masyarakat dikerahkan oleh Bupati, Camat dan Lurah untuk hadir mendengarkan pidato Pak Mentri.
Pak Mentri satu ini punya kebiasaan klau berpidato menggebu-gebu, lama, bersemangat, hingga matanya pun melotot-lotot. Di pesantren itu juga begitu. Pak Mentri antara lain mengatakan:
‘Jadi saudara-saudara, Pak Kyai-kyai, kita harus bangga! Karena bangsa kita telah punya putra yang mampu membuat pesawat terbang sekarang. Sebentar lagi, bukan Cuma pesawat terbang biasa, malah pesawat yang bisa mendarat di Bulan. Apakah Saudara-saudara tidak bangga dengan prestasi anak bangsa sendiri?’
Anehnya, hadirin diam saja. Pak Mentri heran, dan bertanya lagi:’Apakah Saudara-saudara bangga?’
Masih juga hadirin diam, bahkan setelah Pak Mentri mengulangi tiga kali pertanyaan seperti itu. Akhirnya ada seorang santri kurus dipojokan yang angkat tangan sambil bicara:
‘Kalau saya, tak bangga sama sekali Pak Mentri!’.
Terkejutlah Pak Mentri, pikirnya orang Madura ini aneh, orang lain bangga sama saya kok ini tidak. ‘Karena itu dia penasaran dan Tanya kepada si santri kurus tadi:
‘Kenapa kok tidak bangga, Dik?’
Kata si santri: ‘Soalnya sudah ada yang bisa begitu, Pak. Saya akan bangga kalau Bapak bisa bikin pesawat yang bisa ke Matahari, tak iya..”(Mata para hadirin smua terarah kepada Pak Menteri, menunggu reaksi dia).
‘Ooo begitu, ya. Apakah adik tahu, bahwa mendarat ke Matahari itu tidak mungkin?’Kata Pak Mentri, senyum-senyum.
‘Lho kenapa tak mungkin, Pak?’ Si santri ngeyel.
‘Begini, Matahari itu panasnya ada berjuta-juta derajat Celsius, sehingga tidak ada logam yang bisa dipakai untuk membuat pesawat yang bisa mendekat, apalagi mendarat. Baru mendekat berjuta kilometre dari Matahari saja pesawat itu pasti meleleh..’(lalu Pak Menteri yang brilian itu pun menjelaskan kepada para hadirin di pesantren soal kesulitan menciptakan pesawat seperti itu disertai paparan ilmu Fisika dan segala macam untuk memperkuat argumennya. Tentu dengan menggebu-gebu dan bersemangat).
‘Kalau Cuma begitu saja mudah Pak..’Belum selesai Pak Mentri bicara, si santri Madura menyela.
‘Loh, mudah gimana?’ Pak Mentri lagi-lagi kaget.
‘Kalau takut pesawatnya meleleh karena panas berangkatnnya habis Magrib saja. Kan sudah dingin, tak iya..”(dengan logat Maduranya).
Dari cerita diatas jika dipikir matang-matang sebenarnya terselip makna yang sangat filosofis. Maksud dari cerita diatas sebenarnya baik, Pak Menteri dan Anak dari Jerman itu ingin membuat rakyat dan orang tua sang anak agar bangga dengan kemampuannya. Namun, mereka kurang memahami Sosiologi dan Antropologi bagaimana cara menghadapi atau berbicara dengan orang-orang dibawah. Gus Dur menjelaskan bahwa sehebat apa pun Iptek kita, kalau tidak dipahami gunanya untuk rakyat, dan si orang elite cuma seenaknya sendiri manfaatnya sangat kurang sekali.
Bagi penulis selain Gus Dur sebagai motivator dan guru, beliau juga merupakan sosok yang tak terlepas dari kesederhanaan. Pada saat Gus Dur menjadi presiden, beliau tidak malu memakai celana pendek dihadapan para wartawan yang pada saat itu berkumpul didepan Istana Negara. Dengan percaya diri beliau tetap menanggapi pertanyaan wartawan yang kadang-kadang menyindir dirinya. Menurut penulis perilaku tersebut merupakan sebuah wujud yang dilakukan Gus Dur agar beliau merasa dekat dengan rakyatya. Pada suatu hari juga penulis juga menjumpai kardus-kardus yang sudah bertali berada didalam Istana Negara, kemudian penulis bertanya pada Gus Dur untuk apa kardus itu disini. Dengan santai Gus Dur menjawab, bahwa kardus itu akan beliau bawa ke luar negeri untuk kunjungan kenegaraan. Penulis heran dengan jawab tersebut, namun penulis pun sadar bahwa apa yang Gus Dur lakukan semata-mata agar beliau merasa dekat dengan rakyatnya.
Didalam buku ini juga diceritakan bahwa Gus Dur pernah diramalkan oleh seorang Professor dari Universitas Hawaii, yang bernama Professor Manfred Henningsen. Beliau adalah pakar filsafat politik Barat, khususnya tentang politik, eksterminasi, gerakan pro demoktasi dan filsafat politik Yunani. Pada tahun 1994, saat penulis, Gus Dur dan Professor Manfred tadi mengrobol sambil minum kopi disalah satu hotel yang berada di Vietnam. Manfred berkata:
Mr. Wahid, you will be the President of your country.”(Pak Wahid, Anda akan jadi presiden dinegara anda).
Professor Manfred berkata seperti itu karena beliau juga mengikuti perkembangan politik yang berada di Indonesia, yang pada saat itu Pak Harto yang berkuasa. Pada tahun 1999 terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4, semakin membuat penulis percaya dengan apa yang dikatakan oleh Professor Manfred pada saat malam hari di hotel Vietnam.
Dari buku ini saya juga belajar tentan cara pemikiran Gus Dur mengenai keharusan umat Islam untuk secara formal menciptakan dan menjalankan sebuah sistem yang Islami. Maksud dari sistem yang islami yaitu apabila totalitas keislaman telah tercapai apabila telah memenuhi lima syarat yang disebutkan oleh Al-Qur’an : 1) menerima prinsip-prinsip keimanan; 2) menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh; 3) menolong mereka yang memerlukan pertolongan; 4) menegakkan profesionalisme, 5) bersikap sabar apabila menghadapi cobaan dan kesusahan. Dari prinsip tersebut Gus Dur berpegang bahwa pada visi universal dimana islam menjadi bagian didalamnya. Itulah sebabnya dalam konteks kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia, Gus Dur secara konsisten mengtakan bahwa Islam sebagai salah satu nilai komplementer, buka alternative, yang membentuk keindonesiaan bersama-sama dengan nilai-nilai yang lain.  Sebagai implementasinya penerimaan Gus Dur terhadap Deklarasi HAM Universal (DUHAM) secara konsisten karena ia memiliki kesamaan dengan nilai-nilai dasar Al-Ushulul Khamsah (hak-hak dasar yang lima) yang dikenal dalam Islam: 1) hak hidup, 2) hak beragama, 3) hak memiliki property 4) hak memiliki dan menjalankan profesi, serta 5) hak melanjutkan keturunan yang baik.
Gus Dur juga mengomentari tentang Sistem Negara Islam yang santer terdengar. Maka beliau berkomentar dengan apa yang sudah dipaparkan diatas tadi tentang hak-hak dasar yang lima bahwa tidak ada kewajiban membuat sebuah “sistem” Islam, maka berarti pula “tidak ada keharusan untuk mendirikn sebuah Negara Islam”. Pandangan ini sangat penting karena sejarah Indonesia semenjak kemerdekaan sampai saat ini telah berkali-kali menyaksikan berbagai upaya mendikotomikan landasan negara Pancasila dengan Islam, serta upaya-upaya menolak legitiminasi negara-bangsa sebagai “tidak islam”, seperti yang direpresentasikan ole hide Khilafah atau aksi terror terhadap negeri ini atas nama perjuangan islam melawan sistem negara dan kekuasaan. Pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang berhasil melakukan terobosan penting mengenai relasi Negara dan Islam dinegeri ini, sudah sewajarnya kita terus kembangkan dan siarkan ke seantero muka bumi. Islam, bagaimanapun, adalah rahmatan lil- ‘alamin atau suatu karunia Allah bagi semua.
Selain pemikiran yang sudah tercantum diatas saya juga dapat belajar tentang pemikiran Gus Dur tentang masalah kebebasan beragama. Dalam mengatasi masalah kebebasan beragama sudah menjadi ciri dari Gus Dur untuk melakukan pencarian sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya untuk menemukan terobosan-terobosan baru yang dapat disumbangkan bagi kemaslahatan umat, bangsa, dan kemanusian. Untuk hal yang satu ini beliau bukan hanya mendapat pujian, tetapi juga sampah serapah dan kutukan. Bukan saja Gus Dur mendapat berbagai penghargaan internasional dari berbagai kalangan umat beragama dan negara, tetapi juga sindiran, hinaan, dan cap yang sangat merendahkan beliau seperti yang dibuat oleh Abubakar Ba’asyir yang mengatakan Gus Dur sebagai murtad. Resiko sedemikian besar sangat jarang ditempuh oleh pemikir dan pejuang dinegeri ini. Yang belum pernah diberlakukan kepada Gus Dur mungkin Cuma satu saja, yaitu diusir dari negaranya seperti yang pernah dialami oleh pemikir Mesir Nasr Abi Zaid, misalnya.
Salah satu pencarian yang dilakukan Gus Dur adalah dalam hal relasi nilai dan ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia(HAM) modern. Khususnya dalam hal perlindungan terhadap kebebasan beragama sebagai salah satu hak dasar yang dimiliki manusia dan dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Gus Dur tak pernah juga jemu dan berhenti dalam melontarkan gagasan tentang pentingnya reinterpretasi (penafsiran ulang) atas fiqih (hukum islam) terkait dengan masalah pindah agama, yang dianggap sebagai tindakan “murtad” atau apostasy. Masalah yang sangat sensitif khususnya di kalangan pemeluk agama Islam ini oleh Gus Dur justru dipakainya sebagai salah satu test case apakah para ulama dan umat Islam mampu menghadapi dinamika perubahan yang akibat modernitas dan modernsasi pada tingkat global dan local sekaligus.
Dalam sebuah tulisan beliau, “Cultulre of Peace: Sebuah Pendekatan Islam” (2002), Gus Dur menyatakan bahwa ada dua masalah penting yang dihadapi oleh para pemimpin dan umat Islam didunia. Pertama, mencari kejelasan dan reinterpretasi terhadap hokum karonik Islam (Fiqih) mengenai perpindahan agama dari Islam ke agama lain yang selama dianggap sebagai bentuk murtad atau “riddah” yang hukumannya adalah mati. Hukum ini, menurut beliau, jika konsekuen diterapkan dinegara-negara yang mayoritas penduduknya Islam akan mengharuskan “menghukum mati puluhan juta jiwa yang pindah agama Islam ke lingkungan Kristen (Protestan, Katolik, Anglikan).” Demikian juga, hal ini belawanan dengan kenyataan bahwa banyak dari negara-negara tersebut yang juga menjadi penandatangan dan telah meratifikasi DUHAM dan protokolnya, yang memberikan perlindungan terhadap hak beragama, termasuk pindah agama secara sukarela. Menurut   Gus Dur, masalah seperti ini harus diakhiri “ kalau kaum Muslimin tidak ingin menjadi kanak-kanak seterusnya dan agar kaum Muslimin diseluruh dunia mencapai kedewasaan.”
Kedua menurut Gus Dur, adalah kecenderungan berkembangnya jumlah generasi muda  Islam yang belajar di Barat dalam bidang sains dan teknologi, dan merangkumnya dengan pengetahuan dan penghayatan agama. Hanya sayangnya, pada bidang yang terakhir ini mereka cenderung mengambil “jalan pintas” yaitu “langsung mengambil dari sumber-sumber tekstual Islam, berupa Kitab Suci Al-Qur’an dan tradisi kenabian (al-Hadits).” Metode skripturalis dan literer ini menafsirkan bahwa adanya pendalam penafsiran dan hanya menggunakan harfiah semata. Akibatnya, “sikap defensive kaum Muslimin seluruh dunialah yang aakan tampil muka, yang berintikan ketidakmampuan penafsiran yang diperlukan di era modern ini.” Padahal, menurut Gus Dur, “sejarah membuktikan, hanya pihak-pihak yang mampu melaksnakan adaptasi bagi sebuah kaum, dapat mencari penyelesaian yang memuaskan.”
Dari apa yang dikemukakan Gus Dur diatas maka menjadi terang bahwa kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini terkait kekerasan yang menggunakan agama, baik terhadap non-Muslim dan juga internal Islam (kasus Ahmadiyah) dan metode dalam memahami ajaran agama. Kekeliruan dalam pemahaman tidak bisa dituduhkan pada teks ajaran, tetapi lebih kepada cara  memahami yang keliru, karena tidak memakai penafsiran yang melibatkan perkembangan historisitas dan perubahan masyarakat manusia. Demikian juga metode pemahaman teks ajaran yang melulu “literer” atau harfiah, ikut bertanggung jawab dalam proses produksi makna dan praksis tertentu. Praktis intoleransi dan kekerasan terhadap umat lain dan kelompok sempalan didalam Islam sendiri, merupakan hasil dari sebuah proses berpikir dan pemahaman tertentu yang manafikan kontekstualitas dan kesejerahan.
Gus Dur sendiri dalam berbagai kesempatan, sebagaimana pernah diuraikan sebelumnya, menganggap bahwa Islam melindungi hak beragama secara bebas ini sebagai bagian dari “al-ushul al-khamsah” atau lima hak dasar. Dengan demikian, hukum Fiqih mengenai apostasy itu pun tidak berlaku secar mutlak, tetapi terkait dengan perkembangan masyarakat, khususnya masyarakat modern yang semakin kompleks dan majemuk itu. Tugas dari ulama dan seluruh umat Islam adalah meningkatkan dan memperkuat kualitas Iman melalui pendidikan, dakwah, kiprah social, ekonomi, dll. Kalau sudah terkait dengan masalah petunjuk Allah SWT manusia tidak akan bisa dan boleh memaksakan. Bukankah dalam Al-Qur’an dikatakan “bahwa sesungguhnya petunjuk (al-huda) adalah milik Allah SWT”? dan bahwa “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”? Dari pemikiran itulah saya selalu ingat yang dikatakan Gus Dur “jika kamu melakukan yang terbaik untuk orang lain, bangasmu dan negaramu, orang lain tidak akan pernah bertanya apa agamamu?”
Selain punya banyak kelebihan dalam penulisan buku ini, namun ada juga beberapa juga kelemahan. Salah satunya didalam buku ini banyak terdapat penulisan dengan bahasa Jawa seperti ndilalah, sampeyan, kapundhut, dll. Penulisan tersebut akan membingungkan pembaca, walaupun pada akhir buku ada Glosarium untuk mengartikannya.

Pada akhirnya buku ini membuat saya dan mungkin pembaca lainnya merasa mengenal lebih dekat dengan sosok Gus Dur. Serta menggugah cara berpikir para pembaca buku ini. Mengajarkan tentang sikap kesederhanaan yang dilakukan oleh beliau. Dan belajar dimana didalam situasi apapun keseriusan dibarengi dengan “guyonan”. Dari semua yang terpenting adalah bagaimana kita mengenal dan mengiplementasikan pemikiran dan perjuangan yang dilakukan oleh beliau untuk agama, Negara dan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar