Gus Dur Ku, Gus
Dur Anda, Gus Dur Kita
Buku ini merupakan ungkapan rasa
kerinduan yang dirasakan oleh penulis dan para Gusdurian (sebutan pengagum Gus
Dur) kepada sosok Presiden RI ke-4 Bapak KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur). Beliau
wafat pada 29 Desember 2009 karena sakit yang sudah lama dideritanya. Kendati
banyak orang sudah tahu mengenai kondisi kesehatan beliau, tetapi tetap saja
kepergian Gus Dur terasa menyentak dan mengejutkan bagi para pengagumnya.
Mereka berpikir bahwa Gus Dur masih sangat dibutuhkan, bukan saja oleh kaum
nahdliyyin (kaum NU) dimana beliau berasal dan pernah menjadi pimpinannya,
tetapi juga oleh bangsa ini. Mereka juga berpendapat bahwa bangsa ini masih
memerlukan pemikiran-pemikiran Gus Dur yang telah beliau lakukan pada saat menjabat
sebagai presiden, walau saja tidak sampai 5 tahun. Itulah salah satu alasan
mengapa Saya memilih untuk membaca buku ini. Saya ingin tahu dan mengenal lebih
dekat sosok Gus Dur dengan membaca buku ini.
Pertama saya akan menjelaskan tentang riwayat
hidup penulis buku ini. Beliau bernama Muhammad Atho’illah Shohibul Hikam atau
yang biasanya dikenal Kang Hikam. Beliau lahir dan dibesarkan dalam sebuah
keluarga pesantren Nahdliyyin didesa Plumpang, Kecamatan Plumpang, Kabupaten
Tuban, Jawa Timur pada 26 April 1958. Putra ke-6 dari 7 bersaudara dari
pasangan KH. Abd. Fatah Al-Manshur dan Ny. Da’iyyatul Khairat ini, selain
mendapat pendidikan pesantren juga dilembaga pendidikan formal agama dan umum.
Selepas SDN (1969), Kang Hikam melanjutkan ke SMP Mu’allimin di Tuban (1973),
Sekolah Persiapan IAIN di Semarang (1975), dan S-1 di Falkultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1981). Meniti karir sebagai peneliti di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1982/1983. Pada 1985 ia
mendapat beasiswa Overseas Fellowship Program (OFP) dari BPPT-World Bank untuk
studi Ilmu Komunikasi pada Universitas od Hawai’i at Manoa, Honolulu, AS dan
meraih gelar MA pada 1987. Selanjutnya mendapat beasiswa dari East-West Center,
AS, dan meraih gelar MA keduanya serta PhD dalam Ilmu Politik pada 1994 dan
1995 dari universitas yang sama. Sepulang ke tanah air, karir penelitinya
berlanjut hingga jabatan puncak funsional peneliti, yakni Ahli Peneliti Utama
(APU) pada Pusat Penelitian Ekonomi dan Pembangunan (PEP), LIPI, pada 1999.
Tahun yang sama, Kang Hikam diangkat oleh Presiden RI ke-IV, KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menjadi anggota Kabinet Persatuan Nasional sebagai Menteri
Negara Riset dan Teknologi (Menegristek) merangkap Kepala BPPT sampai 2001.
Dunia politik praktis pun sempat dirambahnya pada 2001 sampai 2009 dan sempat
menjadi salah satu Ketua DPP PKB 2002-2005, anggota Komisi-I DPR-RI dari PKB
(2004-2007) serta bergabung ke Partai HANURA pada 2008-2009 dengan jabatan
terakhir sebagai salah satu Ketua DPP. Sejak 2009, Kang Hikam kembali ke dunia
akademis dan menjadi Lektor Kepala dalam bidang Ilmu Politik Universitas
Presiden, Jababeka, Cikarang, Jawa Barat. Ia pernah menjabat Wakil Rektor IV Bidang
Riset dan Kerjasama Kelembagaan (2009-2012) di universitas tersebut. Beliau
juga mengajar di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) sejak 2007 dan member
kuliah-kuliah di Sesko-AL; Sesko-AU; dan Sesko-TNI; serta menjadi pemakalah
seminar dilembaga-lembaga seperti Lemhannas, Kemenhan, Badan Intelijen Negara
(BIN), dan berbagai lembaga non-pemerintah, baik didalam maupun diluar negeri.
Tahun 2008 mendapat Pacific Leaders Fellowship dari Universitas of California,
San Diego (UCSD) di La Jolla, California, AS dan pada tahun 2011 mengikuti
Kursus Singkat Angkatan XVII, Lemhannas RI. Sebagai orang pesantren, Kang Hikam
masih tetap menjadi anggota Pembina Yayasan dan pengasuh Ponpes Salafiyah
Kholidiyah di Plumpang Tuban. Di Jakarta ia juga menjadi salah satu anggota
Penasihat New Zealand International School (NZIS). Dalam dunia korporasi, Kang
Hikam sejak 2007 dipercaya sebagai anggota Penasihat Senior (Senior Advisor) pada Kiroyan Partners,
sebuah konsultan komunikasi strategis dan bisnis di Jakarta. Sebagai penulis,
Kang Hikam dikenal dikalangan pemerhati politik dengan bukunya yang momumental,
Demokrasi dan Civil Society (1997,1999); serta Politik Kewarganegaraan (1999);
Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society (2001). Kang Hikam menikah
dengan Dr. Ir. Hj. Puji Winani, MA, dan dikaruniai seorang putri Halida Putri
Widyastuti, BS (Chem-Eng).
Kedua saya akan menerangkan isi dari
buku ini, yang didalamnya banyak pemikiran-pemikiran Gus Dur sebelum ia jadi
presiden maupun beliau sesudah menjabat sebagai presiden. Serta kesederhanaan
dan “guyonan” beliau lakukan dalam tindakan apapun, yang semua orang anggap
sesuatu hal yang jarang dilakukan oleh seorang presiden. Bagi penulis Gus Dur
adalah sosok yang tak pernah gagal melihat aspek humor dalam segala hal. Dalam
situasi yang bagi orang lain sangat serius dan resmi pun, beliau bias menemukan
dan mengemukakan hal-hal yang lucu, tapi sangat filosofis kalau mau
memikirkannnya. Contohnya, sewaktu penulis memohon Gus Dur untuk memberikan
pidato dalam rangka Hari Kebangkitan Teknologi (Harteknas) Tahun 2000
dilapangan Sabuga ITB pada saat beliau masih menjabat sebagai presiden, beliau
bercerita didepan hadirin yang banyak sekali, diantaranya pasti orang-orang
“serius” dan “pinter-pinter”, namanya juga para saintis, peneliti, professor,
dll. Kata Gus Dur, “Syahdan ada seorang anak petani yang, ndilalah kersane Gusti Allah, kok bisa dapat beasiswa ke Jerman dan
berhasil sampai meraih gelar Doktor dibidang Bioteknologi. Sewaktu pulang
kampong, dia cerita kepada sang Ayah tani kluthuk
tentang betapa hebatnya kemampuan
sains dan teknologi dinegara yang namanya Jerman itu.
“Wah
Pake, disana itu sudah bisa dibuat mesin yang ngedap-edapi. Seekor sapi masuk
mesin itu dipintu depan, dibelakang sudah jadi corned beef, itu daging cincang
yang dikalengan, siap masuk toko!” kata si anak dengan sumringah dan
bangga.
Sang Ayah tenang-tenang saja sambil
bilang, “Alah le, kalau Cuma begitu aja
ngapain kamu sekolah sampai Jerman. Dirumahmu ini saja sudah jauh lebih
canggih!”
Si anak yang Doktor Biotek tentu rada
kesel sama si Bapak, katanya: “Ah,
njenengan ini bisa aja Pak. Emang ada kemampuan apa disini yang bisa menyamai
Jerman?”
Kata sang Ayah: “Lho Bapakmu dan Simbokmu ini, makan macem-macem, mulai dari kangkung,
telo, nasi, ikan, tempe dan seterusnya. Lha setelah itu, keluar Kamu! Apa gak lebih hebat dari mesin Jermanmu
tadi?”
Wkwkwk (tertawa)... Tersipu-sipulah
seluruh hadirin dilapangan Sabuga. Bahkan para professor, peneliti, saintis
yang dikenal sangat serius dapat tertawa lebar mendengar cerita dari Gus Dur.
Kata Gus Dur, itulah kalau para saintis kurang berkomunikasi dengan rakyat.
Dan ada salah satu cerita “guyonan” Gus
Dur yang selalu diingat penulis dan masih berhubungan dengan cerita diatas.
Ketika baru saja penulis diangkat sebagai Meneg Ristek, suatu hari penulis
mengobrol di Istana sambil menunggu makan malam. Penulis bertanya kepada Gus
Dur bagaimana mengelola kementrian yang penulis pimpim pada saat itu. Dan Gus
Dur menjawab dengan santai dan, tentu saja, dibumbui humor.
“Jadi begini, Kang. Jadi Menteri yang ngurusi
iptek itu ya harus berusaha memahami dinamika masyarakat dimana pun dia berada.
Jangan Cuma pengen maju cepat-cepat saja. Sampeyan jangan meniru pendahulu
sampeyan yang pendekatannya elitis, tetapi tidak atau kurang memahami bagaimana
sebetulnya rakyat banyak memandang teknologi. Termasuk disitu paham terhadap
persepsi mereka tentang gunanya teknologi dan, yang lebih penting, bagaimana
iptek bisa dipakai melayani keperluan dasar mereka. Kalau sampeyan meneruskan
model pendekatan lama, ya iptek kita mungkin maju, tapi makin terasing dari
rakyat dan malah membuat elite tidak paham. Sudah pernah dengar cerita Meneg
Ristek dikalahin orang Madura?”
“Gimana
Gus....” (penulis sudah
senyum-senyum, karena pasti ada lelucon Madura yang menarik).
“Meneg
Ristek sebelum sampeyan ada yang luar biasa hebatnya karena konon bisa buat
pesawat. Pada suatu hari dia mau pamer dimuka rakyat Madura betapa hebatnya
capaian dia dan bagaimana rakyat seharusnya bangga dan memujanya. Nah, tibalah
dia disebuah pesantren di Bangkalan. Seperti lazimnya zaman itu, para santri
dan masyarakat dikerahkan oleh Bupati, Camat dan Lurah untuk hadir mendengarkan
pidato Pak Mentri.
Pak
Mentri satu ini punya kebiasaan klau berpidato menggebu-gebu, lama,
bersemangat, hingga matanya pun melotot-lotot. Di pesantren itu juga begitu.
Pak Mentri antara lain mengatakan:
‘Jadi
saudara-saudara, Pak Kyai-kyai, kita harus bangga! Karena bangsa kita telah
punya putra yang mampu membuat pesawat terbang sekarang. Sebentar lagi, bukan
Cuma pesawat terbang biasa, malah pesawat yang bisa mendarat di Bulan. Apakah
Saudara-saudara tidak bangga dengan prestasi anak bangsa sendiri?’
Anehnya,
hadirin diam saja. Pak Mentri heran, dan bertanya lagi:’Apakah Saudara-saudara
bangga?’
Masih
juga hadirin diam, bahkan setelah Pak Mentri mengulangi tiga kali pertanyaan
seperti itu. Akhirnya ada seorang santri kurus dipojokan yang angkat tangan
sambil bicara:
‘Kalau
saya, tak bangga sama sekali Pak Mentri!’.
Terkejutlah
Pak Mentri, pikirnya orang Madura ini aneh, orang lain bangga sama saya kok ini
tidak. ‘Karena itu dia penasaran dan Tanya kepada si santri kurus tadi:
‘Kenapa
kok tidak bangga, Dik?’
Kata
si santri: ‘Soalnya sudah ada yang bisa begitu, Pak. Saya akan bangga kalau
Bapak bisa bikin pesawat yang bisa ke Matahari, tak iya..”(Mata para hadirin smua terarah kepada Pak Menteri,
menunggu reaksi dia).
‘Ooo
begitu, ya. Apakah adik tahu, bahwa mendarat ke Matahari itu tidak
mungkin?’Kata Pak Mentri, senyum-senyum.
‘Lho
kenapa tak mungkin, Pak?’ Si santri ngeyel.
‘Begini,
Matahari itu panasnya ada berjuta-juta derajat Celsius, sehingga tidak ada
logam yang bisa dipakai untuk membuat pesawat yang bisa mendekat, apalagi
mendarat. Baru mendekat berjuta kilometre dari Matahari saja pesawat itu pasti
meleleh..’(lalu Pak Menteri yang
brilian itu pun menjelaskan kepada para hadirin di pesantren soal kesulitan
menciptakan pesawat seperti itu disertai paparan ilmu Fisika dan segala macam
untuk memperkuat argumennya. Tentu dengan menggebu-gebu dan bersemangat).
‘Kalau
Cuma begitu saja mudah Pak..’Belum selesai Pak Mentri bicara, si santri Madura
menyela.
‘Loh,
mudah gimana?’ Pak Mentri lagi-lagi kaget.
‘Kalau
takut pesawatnya meleleh karena panas berangkatnnya habis Magrib saja. Kan
sudah dingin, tak iya..”(dengan logat
Maduranya).
Dari cerita diatas jika dipikir
matang-matang sebenarnya terselip makna yang sangat filosofis. Maksud dari
cerita diatas sebenarnya baik, Pak Menteri dan Anak dari Jerman itu ingin
membuat rakyat dan orang tua sang anak agar bangga dengan kemampuannya. Namun,
mereka kurang memahami Sosiologi dan Antropologi bagaimana cara menghadapi atau
berbicara dengan orang-orang dibawah. Gus Dur menjelaskan bahwa sehebat apa pun
Iptek kita, kalau tidak dipahami gunanya untuk rakyat, dan si orang elite cuma
seenaknya sendiri manfaatnya sangat kurang sekali.
Bagi penulis selain Gus Dur sebagai
motivator dan guru, beliau juga merupakan sosok yang tak terlepas dari
kesederhanaan. Pada saat Gus Dur menjadi presiden, beliau tidak malu memakai
celana pendek dihadapan para wartawan yang pada saat itu berkumpul didepan
Istana Negara. Dengan percaya diri beliau tetap menanggapi pertanyaan wartawan
yang kadang-kadang menyindir dirinya. Menurut penulis perilaku tersebut
merupakan sebuah wujud yang dilakukan Gus Dur agar beliau merasa dekat dengan
rakyatya. Pada suatu hari juga penulis juga menjumpai kardus-kardus yang sudah
bertali berada didalam Istana Negara, kemudian penulis bertanya pada Gus Dur
untuk apa kardus itu disini. Dengan santai Gus Dur menjawab, bahwa kardus itu
akan beliau bawa ke luar negeri untuk kunjungan kenegaraan. Penulis heran
dengan jawab tersebut, namun penulis pun sadar bahwa apa yang Gus Dur lakukan
semata-mata agar beliau merasa dekat dengan rakyatnya.
Didalam buku ini juga diceritakan bahwa
Gus Dur pernah diramalkan oleh seorang Professor dari Universitas Hawaii, yang
bernama Professor Manfred Henningsen. Beliau adalah pakar filsafat politik
Barat, khususnya tentang politik, eksterminasi, gerakan pro demoktasi dan
filsafat politik Yunani. Pada tahun 1994, saat penulis, Gus Dur dan Professor
Manfred tadi mengrobol sambil minum kopi disalah satu hotel yang berada di
Vietnam. Manfred berkata:
“Mr.
Wahid, you will be the President of your country.”(Pak Wahid, Anda akan
jadi presiden dinegara anda).
Professor Manfred berkata seperti itu
karena beliau juga mengikuti perkembangan politik yang berada di Indonesia,
yang pada saat itu Pak Harto yang berkuasa. Pada tahun 1999 terpilihnya Gus Dur
sebagai Presiden RI ke-4, semakin membuat penulis percaya dengan apa yang dikatakan
oleh Professor Manfred pada saat malam hari di hotel Vietnam.
Dari buku ini saya juga belajar tentan
cara pemikiran Gus Dur mengenai keharusan umat Islam untuk secara formal
menciptakan dan menjalankan sebuah sistem yang Islami. Maksud dari sistem yang
islami yaitu apabila totalitas keislaman telah tercapai apabila telah memenuhi
lima syarat yang disebutkan oleh Al-Qur’an : 1) menerima prinsip-prinsip
keimanan; 2) menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh; 3) menolong mereka
yang memerlukan pertolongan; 4) menegakkan profesionalisme, 5) bersikap sabar
apabila menghadapi cobaan dan kesusahan. Dari prinsip tersebut Gus Dur
berpegang bahwa pada visi universal dimana islam menjadi bagian didalamnya.
Itulah sebabnya dalam konteks kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
Indonesia, Gus Dur secara konsisten mengtakan bahwa Islam sebagai salah satu
nilai komplementer, buka alternative, yang membentuk keindonesiaan bersama-sama
dengan nilai-nilai yang lain. Sebagai
implementasinya penerimaan Gus Dur terhadap Deklarasi HAM Universal (DUHAM)
secara konsisten karena ia memiliki kesamaan dengan nilai-nilai dasar Al-Ushulul Khamsah (hak-hak dasar yang
lima) yang dikenal dalam Islam: 1) hak hidup, 2) hak beragama, 3) hak memiliki
property 4) hak memiliki dan menjalankan profesi, serta 5) hak melanjutkan
keturunan yang baik.
Gus Dur juga mengomentari tentang Sistem
Negara Islam yang santer terdengar. Maka beliau berkomentar dengan apa yang
sudah dipaparkan diatas tadi tentang hak-hak dasar yang lima bahwa tidak ada
kewajiban membuat sebuah “sistem” Islam, maka berarti pula “tidak ada keharusan
untuk mendirikn sebuah Negara Islam”. Pandangan ini sangat penting karena
sejarah Indonesia semenjak kemerdekaan sampai saat ini telah berkali-kali
menyaksikan berbagai upaya mendikotomikan landasan negara Pancasila dengan
Islam, serta upaya-upaya menolak legitiminasi negara-bangsa sebagai “tidak
islam”, seperti yang direpresentasikan ole hide Khilafah atau aksi terror
terhadap negeri ini atas nama perjuangan islam melawan sistem negara dan
kekuasaan. Pemikiran dan perjuangan
Gus Dur yang berhasil melakukan terobosan penting mengenai relasi Negara dan
Islam dinegeri ini, sudah sewajarnya kita terus kembangkan dan siarkan ke
seantero muka bumi. Islam, bagaimanapun, adalah rahmatan lil- ‘alamin atau suatu karunia Allah bagi semua.
Selain pemikiran yang sudah tercantum
diatas saya juga dapat belajar tentang pemikiran Gus Dur tentang masalah
kebebasan beragama. Dalam mengatasi masalah kebebasan beragama sudah menjadi
ciri dari Gus Dur untuk melakukan pencarian sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya
untuk menemukan terobosan-terobosan baru yang dapat disumbangkan bagi kemaslahatan
umat, bangsa, dan kemanusian. Untuk hal yang satu ini beliau bukan hanya
mendapat pujian, tetapi juga sampah serapah dan kutukan. Bukan saja Gus Dur
mendapat berbagai penghargaan internasional dari berbagai kalangan umat
beragama dan negara, tetapi juga sindiran, hinaan, dan cap yang sangat
merendahkan beliau seperti yang dibuat oleh Abubakar Ba’asyir yang mengatakan
Gus Dur sebagai murtad. Resiko sedemikian besar sangat jarang ditempuh oleh
pemikir dan pejuang dinegeri ini. Yang belum pernah diberlakukan kepada Gus Dur
mungkin Cuma satu saja, yaitu diusir dari negaranya seperti yang pernah dialami
oleh pemikir Mesir Nasr Abi Zaid, misalnya.
Salah satu pencarian yang dilakukan Gus
Dur adalah dalam hal relasi nilai dan ajaran agama (Islam) dengan nilai-nilai
Hak Asasi Manusia(HAM) modern. Khususnya dalam hal perlindungan terhadap
kebebasan beragama sebagai salah satu hak dasar yang dimiliki manusia dan
dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Gus Dur tak pernah juga
jemu dan berhenti dalam melontarkan gagasan tentang pentingnya reinterpretasi (penafsiran ulang) atas
fiqih (hukum islam) terkait dengan masalah pindah agama, yang dianggap sebagai
tindakan “murtad” atau apostasy. Masalah yang sangat sensitif khususnya di
kalangan pemeluk agama Islam ini oleh Gus Dur justru dipakainya sebagai salah
satu test case apakah para ulama dan umat Islam mampu menghadapi dinamika
perubahan yang akibat modernitas dan modernsasi pada tingkat global dan local
sekaligus.
Dalam sebuah tulisan beliau, “Cultulre of Peace: Sebuah Pendekatan Islam”
(2002), Gus Dur menyatakan bahwa ada dua masalah penting yang dihadapi oleh
para pemimpin dan umat Islam didunia. Pertama, mencari kejelasan dan
reinterpretasi terhadap hokum karonik Islam (Fiqih) mengenai perpindahan agama
dari Islam ke agama lain yang selama dianggap sebagai bentuk murtad atau “riddah” yang hukumannya adalah mati.
Hukum ini, menurut beliau, jika konsekuen diterapkan dinegara-negara yang
mayoritas penduduknya Islam akan mengharuskan “menghukum mati puluhan juta jiwa
yang pindah agama Islam ke lingkungan Kristen (Protestan, Katolik, Anglikan).”
Demikian juga, hal ini belawanan dengan kenyataan bahwa banyak dari
negara-negara tersebut yang juga menjadi penandatangan dan telah meratifikasi
DUHAM dan protokolnya, yang memberikan perlindungan terhadap hak beragama,
termasuk pindah agama secara sukarela. Menurut Gus Dur, masalah seperti ini harus diakhiri “
kalau kaum Muslimin tidak ingin menjadi kanak-kanak seterusnya dan agar kaum
Muslimin diseluruh dunia mencapai kedewasaan.”
Kedua menurut Gus Dur, adalah
kecenderungan berkembangnya jumlah generasi muda Islam yang belajar di Barat dalam bidang
sains dan teknologi, dan merangkumnya dengan pengetahuan dan penghayatan agama.
Hanya sayangnya, pada bidang yang terakhir ini mereka cenderung mengambil
“jalan pintas” yaitu “langsung mengambil dari sumber-sumber tekstual Islam,
berupa Kitab Suci Al-Qur’an dan tradisi kenabian (al-Hadits).” Metode
skripturalis dan literer ini menafsirkan bahwa adanya pendalam penafsiran dan
hanya menggunakan harfiah semata. Akibatnya, “sikap defensive kaum Muslimin
seluruh dunialah yang aakan tampil muka, yang berintikan ketidakmampuan
penafsiran yang diperlukan di era modern ini.” Padahal, menurut Gus Dur,
“sejarah membuktikan, hanya pihak-pihak yang mampu melaksnakan adaptasi bagi
sebuah kaum, dapat mencari penyelesaian yang memuaskan.”
Dari apa yang dikemukakan Gus Dur diatas
maka menjadi terang bahwa kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini terkait
kekerasan yang menggunakan agama, baik terhadap non-Muslim dan juga internal
Islam (kasus Ahmadiyah) dan metode dalam memahami ajaran agama. Kekeliruan
dalam pemahaman tidak bisa dituduhkan pada teks ajaran, tetapi lebih kepada
cara memahami yang keliru, karena tidak
memakai penafsiran yang melibatkan perkembangan historisitas dan perubahan
masyarakat manusia. Demikian juga metode pemahaman teks ajaran yang melulu
“literer” atau harfiah, ikut bertanggung jawab dalam proses produksi makna dan
praksis tertentu. Praktis intoleransi dan kekerasan terhadap umat lain dan
kelompok sempalan didalam Islam sendiri, merupakan hasil dari sebuah proses
berpikir dan pemahaman tertentu yang manafikan kontekstualitas dan kesejerahan.
Gus Dur sendiri dalam berbagai
kesempatan, sebagaimana pernah diuraikan sebelumnya, menganggap bahwa Islam
melindungi hak beragama secara bebas ini sebagai bagian dari “al-ushul al-khamsah” atau lima hak
dasar. Dengan demikian, hukum Fiqih mengenai apostasy itu pun tidak berlaku
secar mutlak, tetapi terkait dengan perkembangan masyarakat, khususnya
masyarakat modern yang semakin kompleks dan majemuk itu. Tugas dari ulama dan
seluruh umat Islam adalah meningkatkan dan memperkuat kualitas Iman melalui
pendidikan, dakwah, kiprah social, ekonomi, dll. Kalau sudah terkait dengan
masalah petunjuk Allah SWT manusia tidak akan bisa dan boleh memaksakan.
Bukankah dalam Al-Qur’an dikatakan “bahwa sesungguhnya petunjuk (al-huda)
adalah milik Allah SWT”? dan bahwa “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”? Dari
pemikiran itulah saya selalu ingat yang dikatakan Gus Dur “jika kamu melakukan
yang terbaik untuk orang lain, bangasmu dan negaramu, orang lain tidak akan
pernah bertanya apa agamamu?”
Selain punya banyak kelebihan dalam
penulisan buku ini, namun ada juga beberapa juga kelemahan. Salah satunya
didalam buku ini banyak terdapat penulisan dengan bahasa Jawa seperti ndilalah, sampeyan, kapundhut, dll.
Penulisan tersebut akan membingungkan pembaca, walaupun pada akhir buku ada
Glosarium untuk mengartikannya.
Pada akhirnya buku ini membuat saya dan
mungkin pembaca lainnya merasa mengenal lebih dekat dengan sosok Gus Dur. Serta
menggugah cara berpikir para pembaca buku ini. Mengajarkan tentang sikap
kesederhanaan yang dilakukan oleh beliau. Dan belajar dimana didalam situasi
apapun keseriusan dibarengi dengan “guyonan”. Dari semua yang terpenting adalah
bagaimana kita mengenal dan mengiplementasikan pemikiran dan perjuangan yang dilakukan
oleh beliau untuk agama, Negara dan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar